Sering kita mendengar tentang kata pembelajaran di lingkungan pendidikan. Pembelajaran diadakan untuk membelajarkan individu agar memperoleh pengalaman belajar yang berupa pengetahuan dan keterampilan. Selain itu, pembelajaran juga dapat merubah perilaku menjadi lebih baik yang berupa nilai atau sikap dan tingkah laku. Adanya pembelajaran, pastinya berkaitan dengan para tokoh yang masing-masing tokoh merumuskan beberapa teori dalam pembelajaran. Dalam beberapa teori yaitu, Behaviorisme, Konektivisme, Kognitivisme, Konstruktivisme, dan Humanisme, dapat kita ketahui kelebihan dan kekurangan masing-masing teori yang akan membantu kita dalam memahami pembelajaran.
Teori Behaviorisme, teori ini dapat dikatakan lebih awal daripada teori-teori yang lain, mungkin bisa dikatakan “Jadul” . Teori ini memandang belajar merupakan interaksi stimulus dan respon. Pembelajaran behaviorisme ini mengacu pada pemberian stimulus yang baik untuk memancing individu memberikan respon yang baik terhadap stimulus tersebut, dan bukan terletak pada proses yang baik untuk menciptakan stimulus-respon tersebut. Keberhasilan dalam pembelajaran ini dapat kita ketahui secara konkret dengan adanya perubahan tingkah laku yang ditunjukan oleh individu, dan tingkah laku ini dikatakan “sudah belajar”. Begitupun sebaliknya, bila belum ada perubahan tingkah laku, walaupun individu sudah memahami isi pengetahuan maka individu tersebut dikatakan “belum belajar”.
Dalam pembelajaran ini, siswa pasif dan pendidik adalah pusat dari pembelajaran yang berlangsung. Individu hanya menjiplak pengetahuan dari apa yang dikatakan pendidik, dan siswa menjadi kurang produktif, kurang imajinatif, kurang kreatif, berpikir linear dan konvergen. Teori ini condong pada aspek fisik (perilaku) dan tidak memperhatikan aspek kognitif pembelajaran, maka kajian teori ini digeser oleh teori lain.
Teori Koneksionisme, teori yang muncul kedua ini menekankan pada penguatan (reinforcement) yang tidak ada dalam Behaviorisme. Imbalan dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu respon, dan apabila tidak adanya imbalan cenderung mengakibatkan penghapusan. Teori ini dapat dikatakan berhasil apabila ketaatannya pada aturan yang ada dari sistem di luar diri individu yang belajar, dan perilaku tersebut pantas dipuji dan diberi hadiah. Tetapi, kontrol belajar belum dimiliki individu secara mandiri untuk mengembangkan pengetahuannya. . Selain itu, pembelajaran koneksionisme hanya memberikan koneksi stimulus-respon secara spesifik, sedangkan individu hanya mampu menirukan jawaban-jawaban atas masalah yang dimunculkan, bukan membelajarkan individu untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Maka dari itu kenapa teori ini digeser ke teori yang lain.
Teori Behaviorisme, teori ini dapat dikatakan lebih awal daripada teori-teori yang lain, mungkin bisa dikatakan “Jadul” . Teori ini memandang belajar merupakan interaksi stimulus dan respon. Pembelajaran behaviorisme ini mengacu pada pemberian stimulus yang baik untuk memancing individu memberikan respon yang baik terhadap stimulus tersebut, dan bukan terletak pada proses yang baik untuk menciptakan stimulus-respon tersebut. Keberhasilan dalam pembelajaran ini dapat kita ketahui secara konkret dengan adanya perubahan tingkah laku yang ditunjukan oleh individu, dan tingkah laku ini dikatakan “sudah belajar”. Begitupun sebaliknya, bila belum ada perubahan tingkah laku, walaupun individu sudah memahami isi pengetahuan maka individu tersebut dikatakan “belum belajar”.
Dalam pembelajaran ini, siswa pasif dan pendidik adalah pusat dari pembelajaran yang berlangsung. Individu hanya menjiplak pengetahuan dari apa yang dikatakan pendidik, dan siswa menjadi kurang produktif, kurang imajinatif, kurang kreatif, berpikir linear dan konvergen. Teori ini condong pada aspek fisik (perilaku) dan tidak memperhatikan aspek kognitif pembelajaran, maka kajian teori ini digeser oleh teori lain.
Teori Koneksionisme, teori yang muncul kedua ini menekankan pada penguatan (reinforcement) yang tidak ada dalam Behaviorisme. Imbalan dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu respon, dan apabila tidak adanya imbalan cenderung mengakibatkan penghapusan. Teori ini dapat dikatakan berhasil apabila ketaatannya pada aturan yang ada dari sistem di luar diri individu yang belajar, dan perilaku tersebut pantas dipuji dan diberi hadiah. Tetapi, kontrol belajar belum dimiliki individu secara mandiri untuk mengembangkan pengetahuannya. . Selain itu, pembelajaran koneksionisme hanya memberikan koneksi stimulus-respon secara spesifik, sedangkan individu hanya mampu menirukan jawaban-jawaban atas masalah yang dimunculkan, bukan membelajarkan individu untuk memecahkan masalahnya secara mandiri. Maka dari itu kenapa teori ini digeser ke teori yang lain.
Teori Kognitivisme, teori ini dapat dikatakan pergantian dari teori konektivisme yang telah tergeser. Teori ini menekankan pada pengoptimalan aspek kognitif (pengetahuan dan pengalaman) yang dimiliki individu. Dalam teori ini, faktor internal dari dalam individu yang berupa pikiran, perasaan, keterampilan, minat dan bakat, dapat mempengaruhi proses belajar individu sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi menjadi poin penting bagi teoritisi kognitivisme. Kelemahan pada teori ini adalah pada dampak tiap-tiap individu mungkin memiliki pemahaman yang berbeda dalam memaknai satu pengetahuan yang sama. Lalu, individu yang pintar akan semakin pintar sedangkan individu yang kurang dalam memaknai pembelajaran akan semakin jauh tertinggal dari si pintar. Sehingga teori ini digeser dengan teori yang lain.
Teori Konstruktivisme, dalam teori ini, individu diposisikan agar dapat aktif dalam mengkonstruk pembelajarannya. Teori konstruktivisme mendefinisikan belajar sebagai pembangunan struktur pengetahuan secara mandiri oleh individu. Pengembangan potensi yang dimiliki individu, sudah menjadi tanggung jawab individu masing-masing, sedangkan guru hanyalah sebagai fasilitator. Pengetahuan dapat dikembangkan oleh individu tergantung pada kemauannya untuk mengembangkan pengetahuan. Jadi, dapat diketahui kelemahan teori ini adalah terletak pada kemauan/motivasi individu itu sendiri. Individu dengan kemauan rendah akan tertinggal dengan individu dengan kemauan yang tinggi. Dari hal inilah yang belum dapat dikoreksi dalam teori konstruktivisme.
Teori Humanisme, mendefinisikan pembelajaran dengan istilah “memanusiakan manusia” dan dilakuakan dengan memadukan beberapa teori asalkan tujuan “memanusiakan manusia” dapat tercapai. Pembelajaran humanisme dapat berhasil jika individu telah mampu memahami diri sendiri dan lingkungannya. Kelemahan dari teori ini adalah pendidik tidak mampu menciptakan situasi pembelajaran yang mendukung aktualisasi diri individu yang belajar. Selain itu, pembelajaran hanya dipusatkan pada pencapaian tujuan “memanusiakan manusia”. Teori ini juga hanya memberi saran untuk memadupadankan teori yang ada tanpa tanpa memperhatikan dan menjelaskan efek samping dari perpaduan itu.
Masing-masing teori memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selanjutnya bagaimana seorang pendidik dalam mengarahkan pembelajaran agar lebih bermanfaat dan lebih merubah tingkah laku serta pemahaman siswa, “akankah menjadi sesuai yang diharapkan, atau akan menjadi yang tidak diharapkan ???”
Semoga bermanfaat J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar